Digigit Ular Berbisa 200 Kali, Tim Medis Cari Harapan untuk Antivenin Universal


Mataramnews.co.id

– Tertusuk oleh ular berbisa lebih dari 200 kali dengan dosis yang sesuai ternyata dapat membentuk imunitas. Inilah yang telah dicoba oleh Tim Friede, mantan tukang bangunan dari Wisconsin, dalam usaha luar biasanya untuk mengembangkan ketahanan terhadap racun ular. Saat ini, dedikasi dan perjuangan dia mungkin akan membangkitkan harapan baru di bidang kedokteran yaitu antivirus universal.

Dalam dua puluh tahun belakangan ini, Friede secara sadar mengizinkan diri sendiri untuk digigit oleh beberapa jenis ular paling berbahaya di dunia, termasuk kobra Mesir, black mamba, dan ular piton bertaring. Menurut pengakuannya, “Gigitan pertama sungguh mengejutkan.” Dia menjelaskan bahwa rasanya mirip dengan disengat lebah tetapi juta kali lebih kuat. Selain itu dia juga merasa sangat cemas saat kejadiannya tersebut.

Awalnya merupakan langkah pertahanan diri melawan gigitan tidak disengaja, hal ini kemudian bertransformasi menjadi penelitian ilmiah yang lebih luas. Ternyata kekebalannya memiliki potensi signifikan untuk menguntungkan jutaan individu di seluruh dunia yang tiap tahunnya menjadi korbannya serangan ular beracun.

Bolehkah Ular: Penyakit Tropis yang Terabaikan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menambahkan gigitan ular sebagai salah satu kategorinya.
Neglected Tropical Diseases
(Neglected Tropical Diseases) — kelompok penyakit yang biasanya mempengaruhi komunitas kurang mampu di wilayah tropis dan jarang mendapatkan dana global. Setiap tahun, sekitar 5 juta orang menjadi korban gigitan ular berbisa, dengan antara 81.000 sampai 138.000 kasus kematian, serta banyak lagi yang mengalami cacat tetap.

“Para korban mungkin akan mengalami hilangnya sebagian anggota badan, kerusakan pada otot, atau bahkan diperlukannya tindakan medis yang ekstensif seperti transplantasi kulit,” jelas Stuart Ainsworth, seorang ilmuwan bidang biologi molekul dari Universitas Liverpool.

Salah satu hambatan utama dalam perawatan gigitan ular adalah ketidakmampuan untuk mengenali spesies ular yang melakukan gigitan tersebut. Informasi semacam itu sangat penting agar dokter dapat memilih antivirus yang sesuai. “Tentu saja tidak bijaksana untuk berlari mencoba mendapatkan si ular,” ungkap Jacob Glanville, CEO dari Centivax dan juga penulis kunci laporan terkini ini.

Darah Friede, Harapan Dunia

Dengan hubungan yang tidak biasa itu, Glanville menghubungi Friede. “Panggilan pertamaku berkata, ‘Mungkin ini terdengar aneh, tetapi aku ingin mendapatkannya darahmu’,” cerita Glanville kepada BBC.

Para peneliti tim selanjutnya mendapatkan antibodi dari darah Friede yang sudah berkembang untuk dapat mengenal dan memblokade sejumlah ragam racun ular. Berdasarkan hal tersebut, mereka menciptakan campuran antivirus yang dicoba menggunakan bisa dari 19 jenis ular paling berbahaya versi WHO pada hewan percobaan tikus.

Hasilnya sungguh mengagetkan. Dua antibodi dari darah Friede mampu memberikan proteksi lengkap terhadap 13 spesies ular, serta sedikit perlindungan untuk yang lainnya. Saat para peneliti mencampurkannya dengan antivenom buatan, hasilnya bahkan lebih memukau: gabungan ini ternyata efektif melawan seluruh jenis racun yang diujicobakan.

“Saat kita memasukkan elemen ketiga, luasnya proteksi yang berhasil dicapai sangat mengagumkan,” jelas Glanville kepada The Guardian.

Langkah Menuju Antivenom Universal

Antivenum lintas spesies memang telah tersedia, tetapi riset ini merupakan yang pertama kali mengaplikasikan antibodi buatan manusia—aapproach baru dengan potensi besar. Sebagaimana diungkapkan oleh Andreas H. Laustsen-Kiel, pakar bidang bioteknologi dari Technical University of Denmark, pada Science News, “Inilah gabungan terbaik yang pernah diterbitkan sampai sekarang.”

Selanjutnya, tim penelitian ini akan diuji pada hewan sebelum melangkah lebih jauh ke tahap percobaan dengan manusia. Ada harapan kuat bahwa cita-cita lama akan menjadi kenyataan: yaitu antivirus universal yang mampu menolong jiwa tanpa memandang spesies ular penggigit.

“Perasaan luar biasa menyadari bahwa tindakan yang saya ambil mampu—dan telah—mempengaruhi perkembangan sejarah kedokteran,” jelas Friede.