Tahun-tahun belakangan ini, kehidupan kita dipenuhi dengan berbagai jenis layar. Dari saat pertama kali membuka mata sampai akhirnya memejamkan mata lagi, pandangan kita hampir tidak pernah lepas dari gadget. Kitab pelajaran pun mulai dilupakan dan diganti oleh file PDF serta buku elektronik yang dapat diakses setiap waktu. Sedangkan catatan tradisional semakin jarang digunakan seiring populernya alat pengambil catatan secara digital.
Namun, baru-baru ini terdengar arah yang menggembirakan: trend kembali kepada buku teks serta pena dan tulisan tangan perlahan-lahan bangkit — pelan tetapi pasti.
Unik? Bukan begitu juga. Malah hal itu merupakan wujud protes kecil namun berarti melawan zaman yang selalu cepat, instan, serta terlalu digital.
Ingat waktu sekolah dahulu. Membuka buku pelajaran beraroma khas, merentangkan setiap halamannya satu per satu, membingkai bagian-bagian penting menggunakan stiblo dalam berbagai warna, serta mencatat pengamatanku sendiri dengan pena pada buku tulis bergaris sempit—semua itu memberikan kesan istimewa yang saat ini jarang dirasakan lagi.
Terjadi interaksi fisik yang tak dapat diambil alih oleh tap pada layar. Saat menulis secara manual, kita sesungguhnya tengah “berekonsiliasi” dengan konten pemikiran kita sendiri.
Kami secara sengaja memilih kata-kata, membentuk irama, dan kadang-kadang pula mengomentari isi buku saat menulis kembali dalam versi kami sendiri.
Mengingat dunia yang terus bergerak ke arah digitalisasi, kenapa kita melihat pergeseran seperti ini lagi?
Pertama, alasan kognitif.
Tulisan tangan ternyata dapat meningkatkan kemampuan mengingat berdasarkan penelitian ilmiah. Studi dari Universitas California bersama Princeton melaporkan bahwa para pelajar yang mencatat menggunakan tulisan tangan cenderung lebih mudah memahami isi materi dibandingkan mereka yang mengetik.
Menulis dengan tangan mendorong otak untuk mengolah informasi sebelum mencatatnya di kertas. Di sisi lain, mengetik cenderung membuat kita hanya melakukan pengcopyan langsung tanpa melibatkan pemikiran kritis.
Buku pelajaran juga memiliki kelebihan serupa: karena berbentuk fisik yang nyata, siswa cenderung lebih berkonsentrasi dan kurang ganggu oleh notifikasi seperti saat membaca di layar.
Kedua, soal kenyamanan dan kesehatan mental.
Layar gawai sering kali membuat lelah mata dan pikiran. Terlalu lama menatap layar bisa memicu stres, insomnia, dan bahkan kecemasan. Di sinilah buku teks dan tulisan tangan menawarkan pelarian yang menenangkan.
Saat membaca buku cetak, kita bisa leluasa mengatur ritme, menikmati jeda, bahkan mencium aromanya yang menenangkan. Sementara saat menulis tangan, kita seperti mengalir bersama pikiran, tanpa tekanan dari dunia maya yang bising.
Ketiga, terdapat aspek keindahan dan individualitas. Tulisan tangan memiliki ciri khas tersendiri.
Gaya tulisan seseorang dapat mengungkapkan karakteristik pribadinya. Buku catatan manual mungkin menjadi refleksi dari proses pembelajaran kita — dengan garis-garis, penambahan informasi, serta hiasan sticker kecil yang menjadikannya istimewa.
Banyak pelajar saat ini menggulirkan tren “studygram,” yakni berbagi gambar dari tulisan tangan mereka yang menarik pada platform-media digital. Ini tak hanya semata-mata sebagai hobi atau kegemaran, melainkan juga cara untuk mendeklarasikan identitas pribadi: proses belajar dapat jadi suatu hal yang cantik serta menyenangkan.
Kondisi serupa tak hanya berlaku bagi para siswa. Banyak penulis serta profesional kreatif lainnya pun beralih ke penggunaan buku catatan konvensional dalam menyusun gagasan mereka.
Bahkan, raksasa korporasi seperti Moleskine dan Leuchtturm menyatakan adanya pertambahan pendapatan. Di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, perlengkapan menulis manual mengalami peminat yang meningkat karena dianggap mendukung efisiensi kerja serta ketenangan pikiran.
Tetapi, tentunya kita tak dapat mengabaikan seluruh dampak dari perkembangan teknologi. Dunia maya masih sangat berarti dan menyajikan keringanan yang signifikan. Internet, buku elektronik, serta aplikasi catatan instan terus menjadi bagian integral dalam rutinitas harian kita.
Namun tepat disitulah terletak urgensiya: kita harus menemukan keseimbangan antara dunia digital dan analog.
Mengurangi penggunaan buku teks dan tulisan tangan tidak berarti menentang perkembangan teknologi, tetapi justru merupakan pilihan untuk mengoptimalisasi elemen-elemen yang dapat meningkatkan eksperien pembelajaran menjadi lebih mendalam dan bernilai.
Saat belajar di sekolah, para guru dapat mencampurkan teknologi dengan pendekatan tradisional. Sebagai contoh, mereka bisa menggunakan e-book sebagai sumber informasi tambahan tetapi menulis catatan atau ringkasannya secara manual. Atau, mereka juga dapat melaksanakan projek dalam format digital yang pada mulanya terinspirasi oleh gambaran-gambaran di buku-catatan. Dua hal ini sebenarnya bisa saling mendukung satu sama lain.
Untuk para orangtua, membiasakan anak dengan buku fisik sejak usia muda dapat merangsang minat terhadap baca-menulis. Mengadopsi praktik seperti menjaga diary harian, menyusun daftar tugas secara manual, atau bahkan hanya merekam mimpi-mimpi dalam sebuah agenda hariannya merupakan cara mudah untuk meningkatkan kemampuan berpikir serta membentuk karakter sang anak.
Sebaliknya, kereta ini juga membawa pesan agar kita melambatkan kecepatan hidup. Di antara tulisan tangan dan halaman buku, terdapat jeda yang memberi ketenangan. Tak semuanya perlu segera diselesaikan. Tak seluruhnya mesti instan.
Terkadang, agar bisa sepenuhnya mengerti suatu hal, diperlukan waktu. Kami membutuhkan proses tersebut. Buku dan tulisan tangan menjadi media yang membimbing kami dalam menyelenggarakan perayaan ini pada proses tersebut.
Pada akhirnya, kembali kepada buku teks dan tulisan tangan bukan hanya masalah kesan nostalgia, tetapi juga usaha sederhana untuk menyelaraskan dunia yang begitu cepat bergerak.
Ini berkaitan dengan memberikan waktu kepada diri sendiri untuk mengerti, meresapi, serta menyampaikan sesuatu. Mungkin pada saat dunia terus bergerak dengan cepat, tindakan sehalus ini malah dapat membantu kita agar tetap waras.
Apa kabar Anda? Apakah sudah mencoba untuk menulis tangan lagi hari ini?