Mataramnews.co.id.CO.ID – JAKARTA.
Direktur Eksekutif IEF Research Institute, Ariawan Rahmat, menggarisbawahi pentingnya tindakan nyata oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi penyebaran teknologi kecerdasan buatan (AI) yang melintasi perbatasan negara.
Menurut Ariawan, tantangan terbesar dalam pengenaan pajak pada platform kecerdasan buatan (AI) sekarang adalah masalah yurisdiksi serta kurangnya kooperasi antara perusahaan global dengan pihak berwenang pajak di negeri sendiri.
“Situasi ini serupa dengan saat munculnya Google, Netflix, dan Spotify di awal, ketika negara masih belum mempunyai peraturan hukum terkait penerapan PPN secara langsung. Tanpa adanya aturan spesifik seperti PMSE atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, penagihan pajak dari layanan kecerdasan buatan menjadi tantangan,” ungkapnya melalui pernyataan tertulis pada hari Jumat (9/5).
Pada saat ini, Indonesia sudah mempunyai landasan hukum berdasarkan PMK Nomor 60/PMK.03/2022. Akan tetapi, jenis platform digital yang terkena pajak pertambahan nilai (PPN) mayoritas adalah layanan hiburan, perdagangan elektronik, serta penyediaan awan komputasi, sedangkan platform kecerdasan buatan (AI) belum menerima fokus spesifik dalam aturan tersebut.
“Namun, penerapan kecerdasan buatan kian meluas dan memiliki nilai ekonomi yang signifikan,” ungkap Ariawan.
Untuk merespons kesulitan tersebut, Ariawan menyarankan adanya empat tindakan penting yang harus cepat dilakukan oleh pemerintah:
Pertama, mengembangkan lingkup PMSE dengan menambahkan platform AI yang bersifat komersial. Upaya ini membutuhkan peta strategis lengkap beserta kolaborasi antar negara untuk memastikan bahwa pengenaan pajak bisa dilakukan secara efisien.
Kedua, membuat peraturan spesifik mengenai pajak untuk teknologi terbaru seperti kecerdasan buatan (AI) dan metafase (metaverse).
Dia memberikan contoh, sejumlah platform kecerdasan buatan global sudah bekerja sama dengan mitra pembayaran seperti Google, yang memungkinkannya mengenakan pajak penjualan tanpa langsung kepada mereka.
Ketiga, memperkuat penggabungan data dari berbagai platform moneter seperti YouTube, TikTok, dan Spotify bersama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Kementerian Keuangan, serta mengembangkan pendidikan perihutanan untuk para pembuat konten AI dalam negeri.
Keempat, mendukung partisipasi aktif Indonesia di bawah Kerangka Terbuka OECD sehingga isu perpajakan terkait AI dapat dimasukkan ke dalam agenda dunia.
Menurut dia, kerja sama antarnegara merupakan faktor utama untuk menangani kesulitan yang dihadirkan oleh ekonomi digital masa depan.
“Kecepatan dan fleksibilitas pemerintah amat krusial, tidak sekadar untuk menambah pendapatan negara, tetapi juga guna menghasilkan kesetaraan pajak dalam menghadapi perubahan teknologi,” ungkap Ariawan.
Dia menegaskan bahwa tanpa peraturan yang cukup, Indonesia berisiko hanya menjadi pengguna tekhnologi global saja, sementara uangnya terus mengalir keluar negeri.