Tidak banyak proyek nasional yang bisa membuat Amerika Serikat merasa terganggu. Namun QRIS, Quick Response Code Indonesian Standard, adalah pengecualian.
Di ranah pembayaran digital, QRIS tidak saja berhasil tetapi juga merombak peta kekuatan di kancah internasional.
Ia menjadi contoh proyek digital buatan anak bangsa yang bukan hanya inklusif dan efisien, tetapi juga sangat strategis hingga bisa membuat perusahaan raksasa seperti Visa dan Mastercard kehilangan pangsa pasar.
Tetapi dibalik kesuksesannya, terdapat ancaman yaitu politisasi dan campur tangan kepentingan yang dapat merusakkannya dari dalam.
Dari Warung ke Dunia: Seberapa Sukses QRIS?
Diluncurkan secara resmi pada 17 Agustus 2019, QRIS adalah hasil kolaborasi antara Bank Indonesia, ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia), dan para pelaku industri pembayaran digital.
Sistem ini resmi diwajibkan sejak tanggal 1 Januari 2020 dan telah menjadi standar nasional untuk transaksi menggunakan kodeQR.
Hasilnya mudah dipahami namun bersejarah: menggabungkan seluruh platform pembayaran digital, entah itu dari sektor perbankan atau fin tech, menjadi sebuah sistem tunggal yang dapat diakses melalui kode QR saja.
Efeknya sangat besar. Dalam tahun pertamanya, QRIS merekam 124 juta transaksi dengan nilai total Rp8 triliun.
Empat tahun setelah itu, di tahun 2024, terjadi kenaikan signifikan dalam jumlah transaksi menjadi 6,24 miliar transaksi yang bernilai sebesar Rp659 triliun.
Sudah ada 55 juta warga Indonesia yang rutin memanfaatkan QRIS, sementara itu hampir 36 juta pedagang, kebanyakan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), juga telah tersambung dengan sistem tersebut.
Ukuranannya sangat luas hingga QRIS berubah menjadi salah satu sistem transaksi digital dengan jangkauan pedagang terluas di kawasan Asia Tenggara, dan bahkan secara global.
Dari segi skala proyek pemerintahan, peningkatan melebihi 100% setiap tahun merupakan sesuatu yang amat jarang terjadi.
QRIS tak sekadar mencapai kota-kota besar, tetapi juga merambah hingga ke ujung-ujung pedesaan. Sampai sekarang, bahkan penjual gorengan di tepi jalanan pun sudah dapat menerima transaksi digital.
Menyulut Amerika: Aksi Protes dari Negara Superpower
Keberhasilan QRIS tidak hanya menjadikannya suatu prestasi bangsa, namun juga menciptakan ketidaknyamanan di tingkat internasional.
AS melalui USTR dengan resmi mengajukan protes terhadap adanya QRIS serta sistem GPN.
Mengapa demikian? Karena sistem tersebut dinilai membatasi kemudahan masuknya perusahaan-perusahaan AS seperti Visa dan Mastercard ke pasaran Indonesia.
Tepat seperti itu, sejak munculnya QRIS, pangsa pasarnya Visa menurun dari 57% menjadi 38%, sementara Mastercard berkurang dari 26% hingga 24%.
Meski volume perdagangan nontunai sebelumnya mayoritas dipegang oleh kedua perusahaan tersebut, kini sedikit demi sedikit mulai tergantikan dengan sistem lokal.
Di tahun 2024, jumlah transaksi melalui QRIS sudah mencapai angka $43 miliar, menurunkan kedudukan dominan yang sebelumnya dipegang oleh Amerika dalam upaya mereka untuk mengendalikan sistem finansial global.
Saat Donald Trump mengekspresikan keprihatinan tentang mekanisme perbendaharaan di Indonesia, hal ini tak melulu berkenaan dengan dana. Lebih dari itu, yang membuat mereka cemas ialah absennya kendali serta jalan masuk menuju informasi tersebut.
Sejak dulu, melakukan transaksi menggunakan kartu seperti Visa atau Mastercard berarti informasi Anda ikut terkirim ke luar negeri. Namun dengan sistem QRIS, kontrol tersebut kini beralih ke pihak dalam negeri.
Mengapa QRIS Sangat Populer?
Terdapat tiga faktor pokok yang mendukung keberhasilan QRIS. Yang pertama adalah adanya visi yang kuat serta pimpinan berpengalaman dalam bidang teknologi dari pihak Bank Indonesia.
Kedua, kolaborasi luas yang melibatkan semua pelaku industri: bank, fintech, e-wallet, regulator, bahkan pelaku UMKM. Dan ketiga, eksekusi yang cepat dan terstruktur.
Bank Indonesia mengenali bahwa sistem pembayaran digital di Indonesia tahun 2019 cukup terpecahbelah. Tiap pedagang perlu menempatkan berbagai kode QR yang berasal dari beberapa penyedia jasa.
Hal ini mempersulit baik pembeli maupun penjual. Dari situ muncullah gagasan yang sederhana namun cerdas: menciptakan sebuah standar kode QR nasional tunggal. Kemudian Bank Indonesia merujuk pada spesifikasi EMVCo, yaitu standar internasional untuk kode QR, sehingga masih dapat berintegrasi dengan sistem global.
Berikutnya, Bank Indonesia bekerja sama dengan ASPI serta sejumlah aktor di industri ini, melibatkan beberapa bank besar seperti BCA, Mandiri, dan BRI, serta platform finTech seperti GoPay, OVO, Dana, LinkAja, ShopeePay, dan masih banyak lagi. Mereka semua berkumpul untuk menyetujui sebuah standar seragam yaitu sistem QRIS.
Lebih dari itu, para pemain industri tak sekadar diharapkan untuk mengejar, tetapi mereka benar-benar harus berpartisipasi dalam tahapan pembuatan desain dan penyosian informasi. Tidak ada sikap individualistik atau pertikaian hak kekuasaan antara satu dengan yang lain. Mereka semua menyadari bahwa ini adalah sebuah usaha bersama. Inilah rahasia utamanya.
Potensi Ancaman: Ketika Proyek Berhasil Menjadi Tumpuan Pertahtoan
Akan tetapi, justeru karena telah mencapai kesuksessan yang luar biasa,QRIS sekarang berada dalam posisi rawan. Proyek ini begitu bersih, efisien, serta netral—hal yang agak langka di lingkungan birokrais tersebut. Namun demikian, seperti apa yang dikatakan dalam peribahasa, semakin cerah cahayanya, maka akan semakin gelap pula bayangannya.
Politik semakin merajalela. Setiap kali terdapat suatu proyek berskala nasional yang memperoleh perhatian internasional, pasti akan ada politisi yang berusaha melekatkan nama mereka di sana. Berbagai macam klaim pun dapat bermunculan.
Tidak mustahil bahwa di masa mendatang, QRIS akan dipindahkan ke kementerian tertentu atau menjadi program prioritas bagi partai politik.
Lebih berbahaya lagi apabila sistem ini dimanfaatkan secara tidak tepat untuk tujuan kampanye politik, penyaluran bantuan sosial, atau kumpul-kumpul data pemilih.
Bayangkan bila informasi tentang pembelian makanan ringan hingga perlengkapan rumah tangga warganya di Indonesia, baik itu di warung maupun mini market, digunakan secara tidak bertanggung jawab oleh sejumlah pihak. Ancaman utama tersebut bukan datangnya dari negara lain melainkan lebih pada hal-hal internal dalam negeri kita sendiri.
QRIS Sebagai Lambang Kemampuan Digital Yang Mandiri
Apa yang menjadikan QRIS sangat penting tidak hanya lantaran kemudahannya dalam melakukan transaksi, tetapi juga sebagai simbol dari kedaulatan digital.
Dia menunjukkan bahwa Indonesia mampu menciptakan suatu sistem keuangan nasional yang mandiri, canggih, efisien, dan merata tanpa harus mengandalkan entitas asing.
Dan hal ini dapat membuka pintu bagi yang lain. Bila QRIS berhasil, mengapa proyek-proyek pemerintah lainnya tak dapat menjadikannya contoh untuk diikutinya?
Syaratnya jelas: harus dipimpin oleh lembaga yang teknokratik, dijalankan berdasarkan meritokrasi, dan melibatkan pelaku industri sejak awal, bukan dipolitisasi atau dibajak untuk kepentingan sesaat.
Di masa mendatang, sistem QRIS akan semakin maju. Telah hadir inovasi QRIS Tap berdasarkan teknologi NFC yang memungkinkan proses transaksi cukup dengan menyentuh ponsel pengguna ke perangkat penjual dalam waktu kurang dari setengah detik.
Tidak menutup peluang bahwa sistem ini dapat disatukan dengan PayPal, Apple Pay, atau platform internasional lainnya di masa mendatang.
Mengelola Proyek Besar agar Tetap Objektif dan Membawa Manfaat
QRIS telah membuktikan bahwa birokrasi Indonesia mampu bekerja dengan efektif, cepat, dan bersih.
Namun, sejarah pun mengungkapkan bahwasanya berbagai ide besar seringkali hancur akibat campurnya kuasa.
Maka dari itu, melindungi QRIS sama saja dengan melestarikan masa depan perbankan digital Indonesia. Proyek tersebut harus kita hindari agar tersandera oleh pihak tak bertanggung jawab atau hanya menjadi instrumen kontrol.
Kami perlu lebih banyak lagi program semacam QRIS yang didirikan melalui kerja sama, dikelola dengan pendekatan teknis, serta mendukung masyarakat golongan ekonomi rendah.
Namun yang lebih penting, kita memerlukan kewaspadaan politik dan kepedulian masyarakat agar situasinya tetap seperti itu.
Di era semakin digital ini, orang yang memegang kendali atas sistem pembayaran pada dasarnya akan menguasai jalannya perekonomian serta demokrasi.