Mataramnews.co.id
– Siapa yang menyangka bahwa di era di mana kesehatan mental dan gaya hidup sehat menjadi sorotan utama, generasi yang tumbuh bersama teknologi justru mengalami krisis kebahagiaan yang mengkhawatirkan. Sebuah penelitian global yang dipimpin oleh Arthur C. Brooks, profesor dari Harvard University, mengungkapkan kenyataan pahit tentang Gen Z, bahwa meski hidup di zaman serba
“wellness”
, mereka justru menjadi generasi paling tidak bahagia dalam sejarah modern.
Dilansir dari UnionRayo.com,
Global Flourishing Study
yang melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 22 negara menyimpulkan bahwa jutaan anak muda di seluruh dunia mengalami kesepian akut dan perasaan hampa eksistensial. Ironisnya, hal yang seperti ini terjadi justru di tengah era digital yang memungkinkan konektivitas instan tanpa batas.
Keterhubungan Semu, Kebahagiaan Semu
Menurut Brooks, masalah utamanya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada cara kita menggantikan pengalaman manusia yang nyata dengan simulasi digital. Interaksi langsung yang hangat antar keluarga kini tergantikan oleh percakapan singkat lewat chat dan media sosial yang dangkal. Hal ini tak hanya melemahkan kehidupan sosial, tetapi juga merusak harga diri para penggunanya.
Di sisi lain, Brooks mengatakan bahwa hubungan yang dimulai secara online bukannya merupakan ikatan nyata. Orang muda yang berhasil keluar dari perangkap dunia maya ternyata cenderung merasakan kepuasan hidup lebih besar daripada mereka yang tenggelam di lautan pemberitahuan, suka-suka, serta penghargaan luar biasa.
Kekayaan materinya ada, tetapi maknanya nihil.
Hasil yang mencengangkan dari penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa orang dengan penghasilan lebih tinggi cenderung merasakan kurangnya kepemilikan atas tujuan hidup mereka sendiri. Ini seolah membuktikan pepatah tua bahwa uang dapat memberikan ketenangan, namun tak mampu melahirkan kegembiraan sesungguhnya. Di berbagai belahan dunia, bahkan ada penurunan signifikan pada jumlah individu yang mengidentifikasikan dirinya sebagai penganut suatu agama atau pemegang nilai-nilai rohani. Kekosongan akibat hal ini sering kali dipenuhi oleh gaya hidup konsumtif serta ambisi-ambisi kosong.
“Without a life purpose, happiness is merely an illusion,” Brooks stated in his report.
Bagaimana Sih Caranya Untuk Melepaskan Diri Dari Kondisi Krisis Emosi Ini?
Agar dapat menyelesaikan masalah tersebut, Brooks mengusulkan tiga tahap spesifik sebagai berikut:
- Utamakan interaksi fisik: Pertemuan tatap muka, percakapan, tawa bersama, serta sentuhan antarpersonal merupakan keperluan esensial yang takkan terganti oleh perkembangan teknologi.
- Kembangkan jiwa Anda: Setiap bentuk spiritualitas, apapun itu, dapat membantu menemukan tujuan dan arti dalam kehidupan.
- Mendefinisikan kembali keberhasilan: Keberhasilan tidak terletak pada memiliki harta benda, melainkan pada kedamaian dan perasaan puas dari dalam diri seseorang.
Generasi yang Butuh Didengar
Generasi Z tidak layak disebut sebagai generasi pemalasan, sesuai dengan stigma yang seringkali ditempelkan kepada mereka. Sebaliknya, mereka merupakan generasi yang mengharapkan penghargaan dan penerimaan dari orang lain. Hidup di era digital yang begitu dinamis dan efisien ini berbanding terbalik dengan lanskap sosial para pendahulu mereka; meski memiliki teknologi canggih, Generasi Z justru merasa kekurangan akan hubungan autentik dan bernilai. Meskipun tampak dilimpahi kemudahan serta kenikmatan materialitas, rasa hampa mereka tidak dapat tertutupi oleh jumlah like, pesona popularitas media sosial, ataupun kepemilikan aset-aset mewah tersebut.
Seperti dinyatakan oleh Union Rayo, “Manusia bukanlah untuk merasakan kesendirian, ataupun melengkapi ketidakhadirannya lewat pembelian barang-barang, jumlah pengikut di media sosial, atau notifikasi masuk.” Sekarang adalah waktu bagi kita untuk memfokuskan diri pada aspek-aspek dasar yang memberikan arti sejati dalam kehidupan kita, misalnya saja ikatan persahabatan yang tulus, dialog yang terbuka dan jujur, perwujudan rasa cinta serta menjalani hidup berdasarkan simpati dan empati.