Generasi Z kerap dikenal sebagai kelompok yang sangat beruntung karena berkembang dalam lingkungan dengan teknologi canggih serta akses ke informasi tanpa henti. Namun, di sisi lain, mereka pun harus menavigasi tekanan psikologis dan emosi yang tidak dirasakan oleh generasi-generasi sebelumnya. Kehidupan mereka tampak seperti tak pernah luput dari ekspektasi untuk senantiasa nampak gembira, entah itu di realitas ataupun daring.
Tidak seperti generasi sebelumnya yang dapat menghadapi kehidupan dengan tenang dan berkelanjutan, Gen Z justru dihantam oleh harapan besar sejak usia dini. Tidak mengherankan apabila banyak anggota Generasi Z ini merasakan stres, kewalahan, serta tekanan mental, walaupun penampilannya terlihat sempurna. Lalu, faktor-faktor apa sajakah yang membuat Gen Z merasa semakin tertekan dibandingkan generasi-generasi sebelumnya?
1. Komparasi dalam ranah digital
Generasi Z berkembang dalam lingkungan media sosial tempat kehidupan orang lain sering kali nampak lebih ideal. Mulai dari postingan selebritas yang menggambarkan gaya hidup berlimpah sampai konten yang telah dimodifikasi secara ekstensif, generasi tersebut terus-menerus dipaksa untuk mencapai standar-standar yang sesungguhnya tak masuk akal. Kondisi ini membentuk rasa kurang percaya diri, cenderung iri hati, serta perasaan ketidaklayakan.
Tidak seperti generasi sebelumnya yang berkembang tanpa adanya tekanan dari jaringan online, Gen Z menghabiskan waktu mereka di lingkungan dipenuhi oleh persyaratan estetika visual. Selain menjalankan kehidupannya, mereka juga dituntut untuk memamerkan kesehariannya kepada publik. Hal ini membawa beban emosional yang signifikan akibat perasaan harus senantiasa tampak menawan, berhasil, serta riang di hadapan ranah digital.
2. Tekanan untuk menjalani kehidupan mewah
Banyak anggota generasi Z yang merasa perlu mengeluarkan biaya tambahan agar tampak setara dengan kawan-kawannya. Sosmed kerap memperlihatkan standar kehidupan yang tinggi seperti liburan mewah, produk branded, dan bahkan lifestyle hemat yang malah bisa dibilang boros. Sebaliknya, dibelakangi layar, cukup banyak di antara mereka yang sesungguhnya tengah berkelut masalah keuangan.
Survei dari
LendingTree
Menunjukkan bahwa lebih dari setengah generasi Z menyatakan telah mengeluarkan dana untuk tampil keren atau tampak berada secara finansial. Hal ini membentuk suatu pola hutang dan ketidaknyamanan akibat konsumsi yang melebihi pendapatan mereka, dimana mayoritasnya tetap rendah atau belum menetap.
3. Ketidakstabilan ekonomi
Gen Z menghadapi dunia kerja yang jauh lebih sulit dibandingkan generasi sebelumnya. Jika dulu lulusan baru bisa mendapat pekerjaan tetap dengan upah layak, kini banyak dari mereka harus menerima pekerjaan sementara, bergaji rendah, atau bahkan kerja lepas demi mencukupi kebutuhan dasar.
Bank of America
menyebutkan bahwa lebih dari setengah gen Z merasa penghasilan mereka tidak cukup untuk hidup nyaman. Mereka tidak hanya kesulitan menabung atau merencanakan masa depan, tapi juga merasa cemas dan tidak aman karena setiap bulan harus berjibaku dengan biaya hidup yang terus naik.
4. Merasa sendirian di tengah keramaian
Meskipun gen Z terkoneksi secara digital, banyak dari mereka justru merasa lebih kesepian dibanding generasi lain. Riset dari
Eden Project Communities
menunjukkan bahwa mereka adalah generasi paling kesepian saat ini, dengan sedikit ruang untuk membangun koneksi sosial yang nyata.
Fenomena seperti tidak adanya “tempat ketiga” seperti taman, kafe, atau komunitas yang nyaman, membuat mereka sulit merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Belum lagi tren “no contact” atau memutus hubungan dengan keluarga karena
trauma masa lalu
, yang membuat mereka semakin terisolasi, meski dikelilingi oleh jutaan orang di internet.
5. Krisis identitas pribadi
Mencari tahu siapa diri sendiri bukanlah hal yang mudah ketika setiap hari kita dibombardir dengan opini orang lain di media sosial. Gen Z dikenal sebagai generasi yang menghargai keaslian dan ekspresi diri. Namun ironisnya, banyak dari mereka justru bingung menentukan apa yang benar-benar mereka sukai atau yakini.
Tekanan dari tren yang berubah cepat dan konten influencer membuat mereka sulit membentuk jati diri secara alami. Alih-alih tumbuh berdasarkan pengalaman pribadi, banyak dari mereka membentuk identitas berdasarkan ekspektasi digital, dan ini sering kali membuat mereka merasa kosong, terasing, atau tidak cukup autentik.
6. Terlalu lama di depan layar
Banyak dari gen Z yang bekerja atau belajar dari rumah, yang berarti mereka nyaris tidak pernah lepas dari layar. Dari tugas kuliah hingga pekerjaan dan hiburan, segalanya dilakukan melalui perangkat digital. Akibatnya, batas antara waktu kerja dan waktu pribadi menjadi kabur.
Walaupun mereka sungguh-sungguh memperhatikan keseimbangan kehidupan, sebenarnya banyak orang mengalami kesulitan dalam hal benar-benar menonaktifkan diri. Notifikasi, surel pekerjaan, serta tekanan untuk tetap selalu online menjadi masalah.
media sosial
membuat mereka merasa harus selalu on. Ketergantungan pada layar bukan hanya melelahkan secara fisik, tapi juga berdampak besar pada kesehatan mental.
Gen Z merasa lebih tertekan dibanding generasi lain bukan hanya soal perasaan, tapi juga realita yang dipengaruhi oleh budaya digital, krisis ekonomi, dan perubahan sosial yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di dunia yang serba cepat, penuh tuntutan, tapi minim dukungan nyata. Nah, apakah sudah saatnya kita benar-benar memahami dari mana rasa tertekan itu berasal?