Mataramnews.co.id.CO.ID-JAKARTA
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) semakin meluas. Penerapan luas AI dapat membuka berbagai kesempatan baru untuk bidang perpajakan.
Direktur Eksekutif dari IEF Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan bahwa semakin banyak penggunaan platform kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Midjourney, Suno, sampai Copilot di kalangan masyarakat luas menunjukkan adanya peluang untuk pendapatan pajak tambahan yang saat ini belum dioptimalkan dengan baik.
Ternyata, baik pelajar, pemilik usaha kecil menengah (UMKM), maupun kreator konten profesional saat ini memakai teknologi AI guna meningkatkan efisiensi serta produktivitas mereka. Tak hanya itu, AI juga membantu dalam pembuatan pendapatan tambahan.
“Tetapi, dibalik perkembangan ini, timbul sebuah pertanyaan penting: apakah negara telah siap untuk menangani pendapatan pajak yang berasal dari ekosistem AI ini?” kata Ariawan dalam pernyataannya pada hari Jumat (9/5).
Ariawan menggarisbawahi munculnya ekosistem ekonomi pembuat konten yang didukung oleh kecerdasan buatan sebagai perubahan signifikan dalam peta ekonomi digital.
Dengan memanfaatkan platform seperti ChatGPT Plus untuk menulis skenario, Midjourney untuk menciptakan visual, hingga Suno untuk menghasilkan musik, para kreator Indonesia kini mampu memproduksi konten secara mandiri dan memonetisasinya di platform seperti YouTube, TikTok, dan Spotify.
Berdasarkan data SimilarWeb 2024, Indonesia termasuk dalam lima besar negara pengguna ChatGPT terbanyak di dunia. Sementara itu, YouTube mencatat peningkatan sebesar 200% dalam unggahan video berbasis AI di Asia Tenggara sepanjang 2023.
” Ini menunjukkan peningkatan massif dalam penetrasi teknologi AI serta potensi pendapatan digital yang berkaitan,” ujar Ariawan.
Menurut Ariawan, ada dua sumber utama potensi pajak dari fenomena ini.
Pertama
, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan AI berbasis langganan melalui skema Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Layanan seperti ChatGPT Plus, Midjourney, dan Suno mengenakan biaya langganan dalam dolar AS. Jika diasumsikan terdapat satu juta pengguna AI berbayar di Indonesia dengan rata-rata pengeluaran US$ 20 per bulan, nilai transaksi bulanan mencapai US$ 20 juta atau sekitar Rp 330 miliar.
Dengan tarif PPN sebesar 11%, potensi pendapatan negara dapat mencapai angka Rp36,3 miliar setiap bulannya.
“Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa masih ada beberapa platform kecerdasan buatan yang belum terdaftar sebagai pemain di bidang perdagangan elektronik berlisensi pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak. Ini mengindikasikan bahwa pendapatan pajak penjualan dari layanan mereka belum dikumpulkan dengan maksimal,” jelas Ariawan.
Kedua
, potensi Pajak Penghasilan (PPh) dari para kreator konten berbasis AI. Hitungan Ariawan, seorang kreator bisa meraup US$ 1.000 hingga U$ 3.000 per bulan dari konten yang dibuat dengan bantuan AI.
Ariawan menekankan bahwa tanpa adanya sistem lapor dan lacak yang cukup, kemungkinan penerimaan pajak Penghasilan dari Orang Pribadi (PPh) dapat dengan mudah melewatinya pengawasan otoritas pajak.
Menurut Laporan Work Trend Index 2024 yang disajikan oleh Microsoft dan LinkedIn, 92% tenaga kerja berbasis pengetahuan di Indonesia sudah memanfaatkan AI generatif untuk kegiatan profesional mereka—persentase terbesar secara global, melebihi angka rata-rata dunia sebesar 75% serta lebih tinggi dibanding wilayah Asia Pasifik dengan 83%.
“Dengan kata lain, Indonesia saat ini menjadi negara dengan tingkat adopsi AI generatif tertinggi di dunia,” imbuh Ariawan.
Ariawan menekankan pentingnya kehadiran negara dalam mengelola dan memaksimalkan potensi fiskal dari ekonomi AI. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah memperluas cakupan PMSE hingga membangun sistem pelacakan transaksi digital yang akurat.