Pertama-tama, Nana Mirdad cuma pingin pesen makanan doang. Ga punya maksud utk ngutang, apalagi ikutan kejar-kejaran sama Debt Collector.
Namun demikian adalah fakta nyatanya. Tenang saja, dia meluncurkan fitur paylater dalam aplikasi transportasi online tersebut dan percaya bahwa tagihannya senilai 800 ribu rupiah pasti akan diselesaikan sebelum masa jatuh temponya tiba.
Ternyata, kesalahan dalam menambah saldo di hari setelah perubahan batas waktu telah berubah jadi cerita seram: adanya ancaman dari penagih utang, bunga yang membengkak, serta sindiran pedas dari pengguna media sosial yang menyakitkan.
“Menurut saya, ini hanya penundaan pembayaran, bukan kegagalan,” katanya.
Cerita Nana tidak hanya membicarakan tentang “aktris yang terkejut dengan utangnya”. Hal ini mencerminkan generasi muda yang kecanduan pada kesenangan finansial secara instant.
PayLater—fitur “beli sekarang, bayar kemudian”—ditawarkan sebagai jawaban pintar bagi kehidupan modern.
Namun dibalik tombol “Bayar Nanti” yang menarik perhatian tersebut terdapat bahaya yang kerap dilupakan: bunga harian yang dengan cepat bertambah layaknya beludru, sistem pengumpulan hutang yang beracun, serta dampak bergulirannya pada nilai kredit Anda.
Apa yang terjadi pada Nana sebenarnya sangat manusiawi. Siapa di antara kita yang tak pernah lupa bayar tagihan? Masalahnya, di dunia paylater, kelalaian kecil bisa berubah jadi mimpi buruk.
Saat Nana membayar lunas plus bunga Rp50 ribu (yang ia kira sudah cukup) di pagi hari, ia mengira semuanya selesai.
Tapi debt collector tetap menelepon hingga sore, bahkan mengancam menghubungi kontak daruratnya. “Aku merasa dipermalukan untuk utang yang sudah kubayar,” ujarnya.
Inilah paradoks paylater: fitur yang diiklankan sebagai “penyelamat” justru bisa jadi algojo keuangan. Menurut data Katadata Insight Center (2023), 62,6% pengguna paylater mengalami kecemasan saat tagihan menumpuk.
Bukan karena jumlah uangnya banyak, tetapi karena cara kerjanya selalu mengingatkan Anda secara nonstop—seolah-olah memiliki pasangan posesif yang terus menanyakan, “Kapan pembayarannya?” Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Nana, ada perbedaan signifikan antara tertunda membayarnya dan sama sekali tidak membayar.
Namun, orang di sekitar kita cenderung membuat kesimpulan tanpa mempertimbangkan latar belakangnya. Saat Nana bercerita tentang pengalaman pribadinya, yang ia terima bukannya rasa simpati, tetapi malah tuduhanku: “Bahkan artis pun ingin menghindari hutang!”
Sebenarnya, masalahnya ada pada sistem yang tidak memperhatikan kesalahan manusia. Coba bayangkan: Anda ketinggalan satu hari membayar tagihan listrik, kemudian pihak PLN mengirim penagih utang ke rumah sambil berteriak-teriak. Tentu saja hal seperti itu tak akan terjadi, bukan? Namun dalam dunia layanan pembayaran nanti, situasi tersebut menjadi rutinitas harian.
Finance educator Aliyah Natasya menyampaikan peringatan, “Layanan Paylater dan pinjol (pinjaman online) sebenarnya seperti kembaran yang berbeda wujudnya saja.”
Walaupun paylater tidak menyediakan uang tunai, kedua layanan ini sama-sama mengambil keuntungan dari psikologi “kesempatan terbatas”. Perbedaannya adalah pinjol cenderung dipandang lebih berbahaya lantaran tingkat suku bunga yang sangat tinggi.
Bagaimana dengan layanan paylater? “Hanya Rp200 ribu, tidak akan membuat saya bangkrut,” batin kita. Namun serupa dengan pengalaman Nana, hutang sebesar Rp800 ribu dapat merusak nama baik akibat tindakan debt collector yang memposting ancaman secara publik di media sosial.
Hal yang kerap tertinggal: payLater bukanlah cara bayar normal. Ini sebenarnya hutang menyamar sebagai kenyamanan.
Ketika kita menekan tombol “Bayar Nanti”, hal tersebut setara dengan meminjam uang kecil — dengan ketentuan dan biaya bunganya yang mungkin tidak kita perhatikan.
Bahkan, tidak disadari, kita memberikan persetujuan kepada aplikasi untuk memperoleh akses ke informasi pribadi, yang mencakup buku alamat elektronik atau daftar kontak.
Jadi begitu, kalau telat bayar utang, selain debt collector yang akan mendataimu, mantan pacarmu dari masa SMA atau bahkan dulu pernah jadi atasanmu dan menjadi kontak darurat pun bakal dikabari.
Selanjutnya, apa langkah yang harus diambil untuk mengelak dari perangkap tersebut?
Pertama, pandanglah layanan PayLater sebagaimana halnya Kartu Kredit. Bila Anda tidak dapat mengendalikan diri saat menggunakan Kartu Kredit, lebih baik hindari penggunaan fitur PayLater sama sekali.
Kedua, nyalakan notifikasi pengingat. Pasanglah tanggal jatuh tempo pada kalender hp Anda, tempelkan catatan kecil di lemari es, atau mintalah pasanganmu untuk membantu mengingatnya — apa pun metodenya, hindari hanya bergantung pada ingatan saja.
Ketiga, lakukan pembayaran dari jauh hari sebelumnya. Hindari membayar tepat pada hari menjelang acara atau bahkan di menit-menit akhir. Terkadang sistem otomatis mengalami penundaan dalam pemrosesan transaksi, sehingga Anda berpotensi mendapatkan sanksi denda disebabkan oleh keterlambatan teknikal tersebut.
Nana Mirdad mungkin dapat menyelesaikan lunas hutang sebesar Rp800 ribu ditambah bunganya hanya dalam beberapa jam. Namun, untuk pemuda dengan pendapatan terbatas, utang senilai tersebut bisa menjadi awal dari siklus kehidupan yang sangat mengkhawatirkan.
Bayangkan saja: pendapatan rutin sebesar Rp3,5 juta perbulan, tetapi harus mencicili lima kredit dari beberapa platform paylater yang berbeda. Ditambah dengan bunganya yang semakin menumpuk tiap harinya.
Tidak mengherankan jika banyak orang bingung memilih antara makan mie instan selama satu bulan atau meminta orangtua membayar lunas hutang mereka.
Kunci terletak pada pemahaman bahwa hutang meskipun kecil tetap memiliki dampak yang signifikan. Sebagaimana disampaikan oleh Aliyah Natasya, “Keuangan yang sehat tidak hanya berarti ‘dapat membayar kemudian’, melainkan juga harus tahu batasan dan mampu mengendalikannya saat ini.”
Oleh karena itu, sebelum menekan tombol “Bayar Nanti”, cobalah bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya mampu membayar esok hari bila dompet hilang atau ada masalah dengan aplikasinya?”
Akhirnya, jangan lupa bahwa BI Checking bersifat adil tanpa pengecualian. Setiap kali Anda telat membayar tagihan dapat direkam dan membuat proses pengajuan KPR atau pinjaman bisnis di kemudian hari menjadi lebih rumit.
Nana Mirdad barangkali belum mempertimbangkan untuk membeli rumah ketika memesan martabak, tetapi bagaimana dengan kita? Jangan biarkan mimpi-mimpi itu pupus hanya karena tergiur oleh penawaran jus jeruk bayar di kemudian hari setelah membayar dua kali.
Pada akhirnya, kisah Nana adalah pengingat untuk semua: hidup di era digital bukan berarti kita harus menyerahkan kendali pada algoritma.
Utang tetaplah utang—meski dibungkus dengan emoji senyum dan tulisan “0% bunga”. Seperti nasihat bijak yang sering kita dengar tapi jarang dituruti: Kalau tak bisa bayar tunai, mungkin memang tak perlu dibeli.
Atau, kalau tak tahan godaan, mending pesan martabaknya cash. Lagi pula, keju meleleh tak akan terasa nikmat jika dimakan sambil dicecar telepon debt collector, kan?