Apakah Kartu Kredit Masih Akan Relevan di Tahun 2030?

Tahun 2030 mungkin terdengar jauh, tapi sebetulnya cuma hitungan hari kalau bicara soal arah teknologi dan keuangan.

Kita sedang hidup dalam masa transisi cepat; antara mereka yang masih suka memegang uang tunai dan mereka yang bisa berbelanja dengan satu sentuhan sidik jari melalui pembayaran QRIS.

Namun seiring berjalannya euforia digitalisasi keuangan, apakah kartu kredit masih akan bertahan?

Sementara dompet digital, paylater, bahkan investasi berbasis blockchain makin menjamur, eksistensi kartu kredit terlihat… mulai dipertanyakan. Tapi jangan buru-buru dulu untuk menyimpulkan.

Kredit Tetap Dibutuhkan, Tapi Bentuknya Akan Berubah

As long as there is still human desire to buy goods before having the money for them, the credit system will continue to exist. Only the form of it does not have to be in the form of a plastic card swiped on an EDC machine.

Bank kini telah beralih ke kartu virtual, terintegrasi dengan e-wallet, hingga fitur cicilan instan di platform e-commerce. Fungsi kartu kredit tetap ada untuk memberikan kelonggaran finansial di waktu mendesak, namun tampilannya disesuaikan dengan perilaku generasi digital native.

Namun, transformasi kredit bukan berarti pembeli tidak memiliki tantangan saat sudah memakainya. Ditambah dengan stigma orang Indonesia yang menganggap kredit sama dengan utang atau uang haram.

Saat Investasi Tidak Lagi Mudah, Utang Jadi Gaya Hidup?

Perlu dicatat, dunia finansial tahun 2030 kemungkinan akan berada dalam ketidakpastian yang lebih tinggi.

Sumber investasi konvensional seperti emas bisa langka, harga kripto makin volatil, dan pasar saham mungkin terlalu fluktuatif untuk investor kecil.

Artinya? Banyak orang justru beralih kembali ke utang konsumtif untuk mempertahankan gaya hidup.

Di sinilah kartu kredit dan paylater akan bertarung keras merebut hati konsumen. Tapi tanpa edukasi keuangan yang kuat, kita akan kembali terjebak pada siklus “beli dulu, bayar entah kapan.”

Cicilan tanpa rencana, saldo minimum yang dibayar berbulan-bulan, dan bunga yang menumpuk akan kembali jadi masalah baik lewat kartu kredit maupun skema baru seperti paylater.

Persaingan Ketat: Kartu Kredit vs Paylater

Mari kita bicara soal kompetisi antara kartu kredit dan paylater. Dalam 5 tahun terakhir saja, paylater tumbuh lebih cepat daripada kartu kredit di kalangan Gen Z. Kenapa? Karena:

Lebih mudah diajukan

Sementara kartu kredit masih terkesan elit. Semisalnya banyak persyaratan seperti KTP, slip gaji dalam 3 bulan terakhir, proses memakan waktu 3-7 hari, dan rentan disalahgunakan jika tidak bijak.

Tetapi ada ketentuan seperti minimal gaji sebesar Rp3.000.000 untuk membuka rekening kartu kredit. Jadi, kesimpulannya tidak semua kartu kredit ramah bagi freelancer atau mereka yang memiliki penghasilan tidak tetap.

Namun bukan berarti kartu kredit tidak memiliki keunggulan. Kartu kredit tetap menjadi satu-satunya alat pembayaran yang menawarkan fasilitas seperti:

Proteksi transaksi globalBatas besar untuk keperluan darurat atau bisnisPoin reward dan asuransi perjalananAkses pinjaman jangka pendek yang lebih stabil secara bunga (dibanding pinjol)

Artinya, kartu kredit tetap dibutuhkan oleh kelas menengah produktif dan pebisnis yang butuh arus kas fleksibel. Namun, bagi generasi konsumtif yang tidak punya literasi keuangan, kartu kredit bisa jadi bumerang.

Risiko Keuangan Global: Apakah Sistem Kredit Akan Bertahan?

Tahun 2030 bisa jadi adalah masa krisis finansial baru. Dengan tingginya ketimpangan ekonomi, ancaman PHK massal karena otomatisasi, dan ketidakpastian geopolitik, stabilitas pembayaran berbasis kredit bisa terguncang.

Jika masyarakat terus terdorong untuk berutang tanpa peningkatan produktivitas, maka sistem keuangan akan rapuh dan kartu kredit bisa kehilangan fungsi sehatnya.

Oleh karena itu, bank penyedia kartu kredit harus mulai membangun ulang narasi: bukan sekadar “limit besar = gaya hidup keren,” tapi “limit besar = tanggung jawab besar.”

Apakah Masih Layak Diperjuangkan?

Kartu kredit di tahun 2030 bukan sekadar alat transaksi. Ia akan jadi tolak ukur literasi finansial masyarakat modern.

They who know how to manage will utilize it for strategy, not lifestyle. Those who are careless will drown in the illusion of debt that seems easy, but is suffocating to pay.

Kartu kredit tidak akan punah. Ia akan beradaptasi, menyaring pengguna, dan menyempitkan segmen pasar.

Jadi pertanyaannya bukan lagi, “Masihkah kartu kredit diminati?” Tapi lebih tepatnya:

Apakah kamu cukup bijak untuk masih bisa memakainya dengan benar di 2030?