Saat mendiskusikan tentang masa depan si anak, sebagian besar dari kita sebagai orangtua pasti memvisualisasikan studi lanjutan, laporan nilai gemilang, serta pencapaian akademis yang dapat ditunjukkan kepada kolega kerja. Namun, apakah Anda pernah merenungi pertanyaan: “Adakah hal lain selain itu yang diperlukan agar mereka benar-benar senang dan mampu bersaing di lingkungan yang semakin berubah?” Jawaban atas pertanyaan tersebut kemungkinan adalah ‘tidak’. Sebab masih ada satu elemen penting yang hampir sepenuhnya dilupakan yaitu kreativitas sang anak. Yang dimaksud bukan hanya ketertarikan pada lukisan maupun tarian tetapi bagaimana pemahaman, perspektif, dan metode penanganan persoalan dengan cara unik oleh dirinya sendiri. Ironisnya lagi, kreativitas ini justru sering padam tak disebabkan oleh kurang tersedianya sarana prasarana namun lebih dikarenakan minimnya dukungan dan area bebas bagi mereka untuk bereksplorasi, yang notabene berasal dari kedewasaan pikiran kita sebagai orang tua.
Sistem yang Terbatas bagi Kreativitas Anak
Pendidikan kita sering kali memandang kreativitas sebagai tambahan saja, bukannya suatu keharusan. Fokus sekolah justru terletak pada pengetahuan tentang bahan ujian serta menghafalkan formula, ketimbang menciptakan pemikiran yang adaptif. Siswa-siswi harus duduk tenang untuk waktu lama, sambil mendengar pengajar bicara dan menyelesaikan pertanyaan dengan satu jawaban sah. Dalam lingkungan belajar seperti itu, kreativitas menjadi hal asing. Prestasi tinggi diraih oleh siswa yang tunduk dan hapal betul, bukan mereka yang memiliki pertanyaan unik atau berbeda.
Sebenarnya, sesuai penelitian dari World Economic Forum, kreativitas merupakan salah satu ketrampilan yang sangat diperlukan dalam lingkungan pekerjaan mendatang. Industri saat ini telah berevolusi; kita tinggal di zaman dimana ide-ide baru dan pemikiran tidak konvensional lebih bernilai ketimbang hanya memiliki hafalan. Akan tetapi, ironisnya, pendidikan formal belum benar-benar menyongsong perubahan tersebut. Malah, sering kali siswa kehilangan gairah untuk bertanya serta minat mereka untuk menjelajahi hal-hal baru akibat kurikulum yang begitu rigid.
Lebih buruk lagi, banyak orangtua menyokong praktik tersebut. Tanpa mereka sadari, kita turut serta dalam menjaga tradisi yang merusak kreativitas dengan mendorong anak untuk menghadiri kursus berbagai macam pelajaran, bersaing mencapai peringkat tertentu, dan mensinyalir aktivitas seni atau kreasi seolah-olah hanya pemborosan waktu. Padahal, kita seringkali lupa kalau anak-anak tidaklah seperti mesin hafalan. Mereka adalah individu kecil dengan potensi imajinatif tanpa batasan apabila diberikan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan dirinya.
Tertahan Di Tengah Ambisi dan Kekhawatiran
Ada fenomena yang cukup mencolok dalam parenting modern ketika orang tua ingin anak mereka sukses, tapi secara tidak sadar justru menutup jalur menuju kesuksesan itu sendiri. Banyak orang tua berpikir bahwa memberi ruang untuk kreativitas adalah membiarkan anak “bebas tanpa arah”, padahal justru sebaliknya. Memberi ruang untuk berkreasi bukan berarti membebaskan tanpa bimbingan, melainkan menyediakan wadah aman di mana anak bisa mencoba, gagal, belajar, dan tumbuh.
Namun di tengah tekanan sosial, ketakutan menjadi bahan omongan tetangga, dan kompetisi antar orang tua yang semakin absurd, banyak yang akhirnya memilih jalan paling aman: membentuk anak sesuai standar sosial, bukan sesuai potensi mereka. Anak-anak akhirnya tumbuh menjadi “salinan”, bukan “ciptaan orisinal”.
Bahkan di rumah pun, kreativitas anak bisa mati perlahan. Ketika mereka mulai menggambar tembok, orang tua marah karena takut rumah jadi kotor. Ketika anak ingin membuat eksperimen kecil di dapur, kita larang karena takut berantakan. Ketika mereka menyampaikan ide yang aneh, kita tertawa atau menyuruh diam. Kita lupa bahwa setiap larangan itu bisa membunuh satu percikan ide besar yang mungkin bisa mengubah hidup mereka suatu hari nanti.
Pedang Bermata Dua dalam Tumbuh Kembang Kreativitas
Satu hal yang tidak bisa disangkal dari era sekarang adalah dominasi teknologi dalam hidup anak-anak. Tapi di sinilah letak tantangan sekaligus peluangnya. Di satu sisi, teknologi bisa jadi alat luar biasa untuk membangun kreativitas anak. Ada banyak platform edukatif, permainan interaktif, bahkan channel YouTube yang mendidik dan mendorong anak berpikir kritis serta berimajinasi lebih jauh. Dengan bantuan teknologi, anak bisa menciptakan musik, menulis cerita, atau bahkan membuat video animasi semuanya dari dalam kamar mereka sendiri.
Namun di sisi lain, teknologi juga bisa menjadi jebakan pasif. Ketika digunakan tanpa pendampingan, gadget justru membuat anak hanya menjadi penonton, bukan pencipta. Mereka lebih banyak mengonsumsi konten daripada menciptakan sesuatu. Dan ironisnya, banyak orang tua justru merasa lega ketika anak diam bermain gadget, tanpa menyadari bahwa di balik ketenangan itu, kreativitas anak sedang tertidur panjang.
Hasil penelitian oleh American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa terlalu banyak menggunakan perangkat layar dapat mencegah pertumbuhan otak anak-anak, terutama di bidang daya khayal serta kecakapan mereka untuk mencari jalan keluar dari suatu masalah. Oleh karena itu, meskipun teknologi tidak sepenuhnya menjadi lawan kita, tetapi tentu saja bukan merupakan jawaban pasti atas segala sesuatunya. Yang paling penting ialah adanya bimbingan dan pantauan yang tepat dari para orangtua.
Menyulut Kembali Petunjuk Khayalan Si Anak
Sering sekali kita mengabaikan fakta bahwa kreativitas tidak hanya tergantung pada penyediaan peralatan atau medium untuk berkreasi, tetapi juga bergantung pada suasana hati yang mendukung. Seorang anak yang besar dalam lingkungan rumah dipenuhi dengan kritikan, cemoohan, atau kurangnya penghargaan, akan lebih susah untuk membentuk keberanian dalam berekspresi. Kreativitas memerlukan rasa nyaman; seorang anak harus merasa bahwa gagasan mereka diperhatikan, ekspresinya dinilai positif, serta upaya mereka disyukuri walaupun masih jauh dari kesempurnaan.
Lebih dari itu, diperlukan pula pengembangan arti kreativitas secara lebih luas. Kreativitas bukan semata-mata terbatas pada bidang kesenian. Misalnya, seorang anak yang merancang metode unik dalam penyusunan mainannya, mendesain game tersendiri, atau bahkan menceritakan lelucon ringan demi hiburan sang saudara laki-lakinya pun telah menampilkan sisi kreatif mereka. Sayangnya, seringkali kita cuma mengapresiasi bentuk-bentuk kreativitas bila hasilnya dapat ditampilkan dengan jelas kepada publik.
Lingkungan sekitar seperti sekolah, keluarga besar, hingga platform digital memainkan peranan penting dalam mendefinisikan konsep “siswa berprestasi” serta “anak kreatif”. Namun, kita harus menantang definisi tersebut dan beralih untuk merayakan keragaman bakat para remaja—bukan hanya mereka yang selalu menjadi pemenang kompetisi ataupun trending topik online.
Meraih Parenting Baru dalam Membesarkan Anak dengan Kemampuan Berfikir Mandiri
Kini waktunya untuk menyingkirkan metode pengasuhan tradisional yang menilai kemampuan intelektual seorang anak melalui skor tes atau peringkat di sekolah. Kehidupan telah berkembang, dan generasi penerus kita akan menjumpai hambatan-hambatan baru yang belum tentu pernah kita hadapi. Bila kami berharap putra-putri kami dapat bertahan dengan baik, maka kami harus membimbing mereka tak cuma menjadi pintar, tetapi juga memiliki keberanian dalam merumuskan pemikiran independen.
Itu artinya, kamu sebagai orang tua harus lebih banyak mendengarkan daripada mengarahkan. Memberi waktu untuk bermain, bereksplorasi, dan mencoba hal baru, meskipun tampak “tidak penting”. Itu juga berarti kamu harus siap melihat anak gagal dan kecewa, karena dari situ kreativitas dan daya juang lahir. Dan yang paling penting, kamu harus percaya bahwa kreativitas anak adalah bagian dari potensi besarnya, bukan gangguan yang harus diredam.
Jika ada satu hal yang bisa kamu lakukan hari ini untuk mendukung kreativitas anak, itu adalah: biarkan mereka salah. Izinkan mereka mengambil jalan memutar. Dengarkan ide aneh mereka tanpa menghakimi. Karena sering kali, dari ide-ide itulah lahir hal-hal yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya.
Kreativitas anak bukan sekadar hobi. Itu adalah fondasi masa depan. Dan tugas kita sebagai orang tua bukan membentuk anak agar sesuai keinginan kita, tapi menciptakan ruang agar mereka bisa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.