Assalamu’alaikum,
Hari ini rutinitas kita mirip hari kerja, sebab si kecil sudah sibuk dengan aktivitas ekstrakurikuler dan pelajaran musik sejak pagi. Syukur alhamdulillah mereka masih bersemangat. Sebelum tidur, mari periksa pembicaraan yang dipilih oleh Mimin atau Oh Mai… Kita bahas tentang paylater yuk!
Sesuai sekali digunakan untuk menyampaikan pendapat saya. Sering kali saya merasa tidak nyaman ketika melihat fenomena pembayaran di masa depan atau ‘paylater’. Banyak remaja dan sejumlah teman saya dengan sombong menolak penggunaan kartu kredit karena khawatir terjebak bunga tinggi atau ribawi, namun mereka tanpa ragu menggunakan fitur tersebut untuk transaksi online. Menurut pandangan saya, PayLater hanyalah versi halus dan lebih berbahaya dari kartu kredit biasa; Anda harus bijaksana tentang bagaimana sesuatu yang tampak tak kelihatan dapat menjuruskan seseorang pada masalah keuangan—hahaha.
Pernah suatu masa di mana kartu kredit adalah satu-satunya metode untuk mengalihkan pembayaran secara tertunda dan beberapa individu—sama seperti saya pada waktu tersebut—melihat betapa tidak setuju mereka dengan adanya kartu kredit ini. Mereka berkomentar, “Berbahaya, membuat boros”, “Khawatir akan berhutang”, serta “Haram, termasuk dalam praktik riba!”.
Namun hari ini, saya malah menyaksikan suatu kejadian yang sangat lucu bagi mereka yang sebelumnya menentang penggunaan kartu kredit; saat ini mereka menjadi terbiasa dengan layanan paylater. Adakah di antara teman-teman Anda juga seperti itu? Ketika kita pikir lebih dalam lagi, kedua metode tersebut pada dasarnya hampir mirip, kan? Keduanya adalah sarana untuk mendefer pembayaran, benar tidak?
Asal Usul PayLater
Munculnya platform teknologi finansial dan layanan pinjam meminjam secara daring menurutku PayLater baru masuk ke Indonesia antara tahun 2017 sampai 2018. Ini dimulai dengan kedatangan perusahaan seperti Kredivo dan Akulaku. Lalu pada tahun 2019 terjadi ledakan ketika berbagai situs e-commerce mengadopsinya. Fitur ini awalnya ditawarkan sebagai alternatif bagi mereka yang tidak memiliki kartu kredit; yaitu sistem “belanja dulu, bayar nanti”.
Apakah saya sudah berusaha? Sudah pasti! Saya merasa penasaran, jadi saya membeli pulsa senilai 25 ribu rupiah lewat aplikasi ojek online tersebut dan memilih metode pembayaran pakai paylater. Wow, benar-benar mudah sekali! Pulsa terisi tanpa masalah, meski sedang tidak punya banyak uang juga masih bisa mendapatkan pulsa. Namun sayangnya, saya malah lupa untuk membayarnya karena kurang rajin menggunakan aplikasi tersebut. Suatu hari saat ada pemberitahuan, baru sadar kalau denda keterlambatan pada layanan paylater dihitung perharinya. Akhirnya total tagihannya menjadi 75ribu rupiah—padahal awalnya hanya ingin membeli pulsa seharga 25rb saja; sungguh kerugian besar! Sejak insiden itu, saya menolak penggunaan fitur paylater karena rasanya bahkan lebih keras dibanding kartu kredit! Menurut data yang saya lihat, tren semacam ini berkembang pesat, ditujukan kepada mereka-mereka yang memiliki pola hidup serba praktis dalam dunia digital.
Apakah saya memiliki kartu kredit? Ya! Saya hanya menggunakannya saat terjadi situasi darurat seperti berobat atau membeli barang dengan diskon 0%. Kartu kredit ini juga cukup berguna bagi saudara saya yang perlu menggunakan kartu tersebut untuk sejumlah transaksi spesifik seperti penerbitan jurnal yang prosedurnya melalui sistem kartu kredit. Berkat Allah, sampai saat ini kita telah menggunakannya secara bijaksana.
Paylater vs Kartu Kredit
Fitur PayLater memungkinkan Anda untuk membeli barang atau menggunakan jasa saat ini dan melunasinya di kemudian hari. Meskipun tidak dirasanya sebagai peminjaman uang, pada dasarnya hal tersebut masih termasuk dalam kategori berhutang. Ini adalah perangkap umum yang kerap kali lupak dilirik oleh kebanyakan orang.
PayLater dan kartu kredit sebenarnya memiliki berbagai persamaan. Keduanya merupakan metode pembayaran di masa depan. Kedua layanan ini juga memberlakukan biaya bunga serta sanksi apabila terjadi keterlambatan dalam pembayaran. Tak hanya itu, kedua fasilitas tersebut sama-sama menawarkan kepraktisan yang memikat.
Namun, perbedaannya terletak pada mekanisme pemantauan dan kejelasannya. Kartu kredit dikendalikan secara ketat oleh Bank Indonesia dan OJK. Prosedur pendaftarannya cukup lama dan tidak setiap individu dapat berhasil mendapatkannya.
Meskipun begitu, paylater umumnya hanya memerlukan KTP dan nomor telepon seluler yang masih aktif. Proses pengajuannya pun terbilang cepat; namun demikian, detail penting seperti biaya layanan, suku bunga, atau denda keterlambatan pembayaran kerapkali tak dijelaskan dengan jernih sejak awal.
Teman saya baru-baru ini mencoba membayar tagihan paylater di sebuah platform e-commerce dan ia terkejut karena jumlah tagihannya telah berlipat ganda meskipun hanya tertunda selama sehari saja. Saya sempat membantunya mengajukan keluhan tetapi pada akhirnya teman tersebut enggan repot-repot sehingga memilih untuk membayarkan tagihan dengan nominal dua kali lipat dari pembelanjaannya semula. Hal serupa juga pernah dialami ketika saya membeli pulsa beberapa waktu lalu.
Hal ini membuat saya khawatir karena sebagian besar dari mereka yang menggunakan layanan pay later ternyata adalah kalangan remaja. Kelompok generasi yang tenggelam oleh tekanan media sosial, rasa takut ketinggalan (FOMO), serta pola hidup boros. Mereka menginginkan untuk selalu tampil trendi, modis, dan bisa pergi ke mana pun dengan leluasa namun kurang memperhatikan manajemen keuangan secara mendalam. Layanan tersebut hanya menampilkan kesempatan untuk dapat membeli sesuai hasrat tetapi tidak mencermati apakah kapabilitas pembayaran mereka cukup atau bahkan memiliki potensi risiko di masa depan. Itulah sisi paling berbahaya darinya.
Saya tidak menyatakan bahwa layanan PayLater itu jelek atau seharusnya dihindari. Namun, perlu diketahui betul kalau ini bukanlah suatu bentuk pelayanan tanpa biaya. Justru, hal tersebut merupakan sebuah skema hutang yang dirancang agar tampak lebih mudah dan modern. Bila tidak dikelola secara cerdas, dapat berdampak negatif pada kesejahteraan keuangan—terutama bagi individu yang baru membangun hidup independennya sendiri.
Ironisnya, banyak orang menolak penggunaan kartu kredit karena khawatir akan boros dan tersandera hutang, namun mereka malah beralih ke sistem paylater tanpa pertimbangan matang. Meskipun tampak lebih sederhana dan prosesnya lebih mudah, hal itu tidak selalu berarti bahwa risiko yang dihadapi juga menjadi lebih ringan.
PayLater ibarat kartu kredit versi “healthier” yang ternyata lebih junk food. Jangan sampai kita :
Menolak kartu kredit karena “riba”, tapi malah pakai PayLater yang lebih ribawi
Terbuai kata “flexible” padahal bunganya flexible ke langit
Utang digital tetaplah utang. Bedanya, yang satu pakai kartu plastik, satu lagi pakai jempol.
Saya yakin bahwa memiliki pola hidup yang sehat dari segi finansial sangatlah penting. Mengasah diri untuk bisa menahan nafsu membelanjakan uang, menyisihkan dana demi pembelian suatu barang, serta menghabiskan uang berdasarkan batasan kemampuan sendiri akan memberikan ketenangan pikiran daripada selalu merasa tertekan dengan tanggungan biaya setiap bulannya. Jangan sampai kondisi tersebut menjadikan kita kehilangan kontrol hanya karena hasrat untuk tampak makmur di mata orang lain.
Lama juga catatan untuk hari Minggu malam ini, intinya harus pandai dalam mengelola uang agar hidup lebih terjamin ya guys!